Kalimat takwa diambil dari rumpun kata Wiqayah artinya memelihara. memelihara hubungan yang baik dengan tuhan. memelihara diri jangan sampai terpesorok kepada suatu perbuatan yang tidak diridhai tuhan.
Memeliharan segala perintahnya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terpesorok ke tempat yang berlumpur atau berduri.
Sebab pernah ditanyakan orang kepada Rasulullah saw, Abu Hurairah ra, apa arti takwa? Beliau berkata: Pernahkah engaku bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu? Orang itu menjawab:- Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tidak ada duri atau aku melangkahi atau aku mundur. Abu Hurairah menjawab:- Itulah dia takwa! (riwayat Dari Ibnu Abid Dunya).
Memeliharan segala perintahnya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terpesorok ke tempat yang berlumpur atau berduri.
Sebab pernah ditanyakan orang kepada Rasulullah saw, Abu Hurairah ra, apa arti takwa? Beliau berkata: Pernahkah engaku bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu? Orang itu menjawab:- Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tidak ada duri atau aku melangkahi atau aku mundur. Abu Hurairah menjawab:- Itulah dia takwa! (riwayat Dari Ibnu Abid Dunya).
Takwa adalah perlaksanaan dari iman dan amal shalih. arti takwa lebih mengumpul akan banyak hal. bahkan dalam takwa terdapat juga berani! Memelihara hubungan dengan tuhan, bukan saja kerana takut, tetapi lebih lagi kerana ada kesadaran diri, sebagai hamba.
Beberapa pembahasan tentang sifat atau tanda-tanda dari orang yang bertakwa yaitu Mereka yang percaya kepada yang ghaib, dan mereka yang mendirikan sembahyang, dan dari apa yang kami anugerahkan kepada mereka, mereka dermakan.
Iman berarti percaya, yaitu pengakuan hati yang terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan hidup.
Maka iman akan yang ghaib itulah tanda pertama atau syarat pertama dari takwa tadi.
Tersebut di dalam hadis sebuah hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad, ad-darimi, al-Baqawardi dan Ibnu Qani di dalam Majma’ush Shahabah dan ikut juga merawikan oleh Imam Bukhari di dalam Tarikhnya dan At Thabarani dan al-Hakim, mereka meriwayatkan daripada Abi Jumah al-Anshari:
Berkata dia (Abu Jumah al-Anshari): Aku bertanya: ”ya Rasullulah saw”: Adakah suatu kaum yang lebih besar pahalanya daripada kami, padahal kami beriman kepada engkau dan kami mengikut akan engaku? Berkatalah beliau: Apalah akan halangannya bagi kamu (buat beriman kepada ku), sedang Rasulullah saw ada dihadapan kamu, dan datang kepada kamu wahyu(langsung) dari langit. Tetapi akan ada lagi suatu kaum yang akan datang sesudah kamu, datang kepada mereka kitab Allah yang ditulis diantara dua luh, maka merekapun beriman kepadaku dan mereka amalkan apa yang tersebut di dalamnya. Mereka itu adalah lebih besar pahalaanya daripada kamu.
Dan dikeluar pula oleh At-Thayalisi, Imam Ahmad dan Bukhari di dalam Tarikhnya, At Thabarani dan al-Hakim, mereka riwayatkan daripada Abu Umamah al-Baihili. Berkata dia (Abu Umamah) berkata Rasulullah SAW: ”Bahagilah bagi siapa yang melihat aku dan beriman kepadaku dan berbahagialah bagi siapa yang beriman , padahal dia tidak melihat aku”.
Hadis ini dikuatkan lagi oleh yang dirawikan Imam Ahmad. Ibnu Hibban dari Abu Said al-Khudri: Bahawasanya seorang laki-laki berkata Rasulullah saw. ”Bahagia bagi siapa yang melihat engkau dan beriman kepada engkau. Beliau pun menjawab: bahagialah bagi siapa yang beriman kepadaku; dan berbahgialah bagi siapa yang beriman kepdaku, padahal dia tidak melihat aku."
Selanjutnya, terlepas dari konsep yang diajarkan Islam, konsep iman dan takwa juga termaktub dalam Tujuan Pendidikan Nasional kita, Pasal 3 Undang-Undang RI No. 20 Th. 2003 yang berbunyi: “...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Kesimpulannya, Iman dan Takwa adalah buah kesadaran, keyakinan – yang mana sudah ada di dalam diri setiap manusia. Kesadaran itu, keyakinan itu hanya perlu diungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas Agama.
“Iman” dan “Takwa”, kedua kata tersebut sungguh indah, manis dan sarat dengan makna namun penempatannya dalam hal ini, adalah salah. Iman dan Takwa menuntut kepatuhan. Dan, kepatuhan itu haruslah muncul dari keyakinan karena “sadar”, bukan karena “paksaan”. Menumbuhkembangkan kesadaran inilah yang menjadi tujuan Agama.
0 Comments