Poto diatas adalah Perbukitan Ulayat Baduy, atau perbukitan perkampungan Baduy. Berada di perbukitan yang terletak di Ciboleger, Lewidamar, Lebak.
Menelisik cikal bakal orang Kanekes atau orang orang suku Baduy memang masih misteri.
Saya sempat mengunjungi salah satu kampung Baduy, Cibeo untuk menanyakan secara langsung bagaimana cikal bakal mereka berada di hutan. Namun jawabannya tidak memuaskan. Salah satu dari mereka, yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa: "Kami didie geh, ku pedah sieun dijajah ku Belanda. Mending nyumput dijero leuweung ketimbang mere tanaga ka urang Belanda".
"Kami disini dikarenakan takut dijajah oleh orang Belanda. Lebih baik bersembunyi di dalam hutan, daripada harus memberi tenaga (Kerja rodi) kepada orang Belanda". Begitulah kira kira jawabannya.
Kp. Kaduketug, Baduy Panamping
Dalam Acara Seba Baduy
Meskipun tidak menggunakan adu senjata. Ini adalah sebuah jawaban kemenangan diplomatis yang hebat. Sebab, dengan bersembunyinya di dalam hutan, maka sebenarnya mereka adalah orang orang pribumi yang merdeka tanpa ada satu pemerintahan pun yang mereka ikuti.
Prinsip dan ketetapan hati ini masih dilestarikan hingga sekarang dengan tetap menjungjung tinggi nilai tradisi leluhur mereka.
Nilai tradisi yang masih bertahan di era modern ini adalah sesuatu yang luar biasa. Mereka teguh dalam pendirian untuk tetap mempertahankan tradisi diantaranya, tidak boleh menggunakan alat alat modern seperti penggunaan listrik, elektronik, dan lain sebagainya.
Keingintahuan saya tidak berhenti sampai disitu. Sejarah cikal bakal orang Kanekes, atau Suku Baduy ternyata diabadikan dalam bentuk tulisan yang bisa kita kunjungi di situs website resmi Dinas Pariwisata Provinsi Banten.
Dalam website resmi Dinas Pariwisata Provinsi Banten diceritakan bahwa, Maulana Hasanuddin - Kelak menjadi Sultan pertama Kesultanan Banten - menghadap ayahnya di Cirebon. Ia diberi mandat untuk menyebarkan Islam ke Banten dan sekitarnya.
Maulana Hasanuddin berangkat ke Banten. Namun, misinya untuk menjalankan syiar Islam di Banten mendapatkan tentangan dari pamannya sendiri, yakni Prabu Pucuk Umun.
Hasanudin adalah putra keempat dari Sunan Gunung Djati. Tapi, Hasanuddin putera pertama dari Permaisuri di Banten. (Dikutip dari: Okezone.com, 25 Juni 2021).
Setelah melakukan musyawarah, mereka bersepakat untuk tidak berperang secara fisik, namun diganti dengan pertarungan Ayam Jago.
Prabu Pucuk Umun dikenal sebagai sosok yang sakti dalam spritual, sehingga pertarungan melalui media Ayam Jago adalah hal kecil yang kemungkinan dapat ia menangi.
Tapi, diluar dugaan. Maulana Hasanuddin memenangkan perlombaan itu. Prabu Pucuk Umun mengaku kalah dan memberikan ucapan selamat seraya menyerahkan Golok serta Tombak sebagai tanda kekalahan.
Penyerahan kedua senjata pusaka Banten itu juga sebagai simbol bahwa kekuasaan wilayah Banten yang semula dipegang Prabu Pucuk Umun diserahkan kepada Maulana Hasanuddin.
Para pengikut Prabu Pucuk Umun yang memilih bertahan di Banten menyatakan masuk Islam di hadapan Maulana Hasanuddin.
Sementara beberapa para pengikut Prabu Pucuk Umun yang setia bersamanya pergi untuk menuju ke Ujung Kulon di Banten Selatan.
Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Konon, mereka inilah sebagai cikal-bakal orang Kanekes atau orang-orang Suku Baduy.
Yang masih mempertahankan tradisi leluhur dan Sundawiwitan sebagai kepercayaan yang dianutnya. Wallahua'lam.
0 Comments