Pada suatu hari, aku berbincang dengan seorang mahasiswa kelas akhir, perbincangannya tentang makna hidup dan proses menyikapinya. Dengan intonasi dan gaya bahasanya yang khas, juga berbagai statement bahasa ilmiah.
Di suatu hari lain, aku berbincang dengan seseorang yang berpropesi sebagai petani, usianya masih muda, tak jauh dengan usiaku.
Temanya sama aku ingin tahu bagaimana ia menyikapi hidup. Dan untuk meyakinkan kredibilitasnya, aku bertanya tentang pendidikannya, ia katakan bahwa ia hanya lulus SD saja.
Dengan obrolan biasa, ia jawab seadanya, ketawa, becanda, dan hampir setengah jam di depan rumah tempat ia istirahat.
Dan mahasiswa tadi, Pada awalnya aku kagum, sebab aku tidak mengerti banyak tentang bahasa ilmiah, tapi lama kelamaan, justru seolah hanya mendengar kata-kata yang ia baca, atau yang ia ketahui dari buku tapi tak ada makna yang begitu menyentuh sama sekali. Dan semakin lama, semakin jemu, membosankan.
Eith.. Contoh diatas bukan untuk membanding-bandingkan dari sudut sosial kawan!.
Tapi adakalanya perlu kita pertimbangkan jika memang itu layak dipertimbangkan. Karena pada akhirnya, sebuah jawaban sebagai solusilah yang kita inginkan dari pertimbangan-pertimbangan itu.
Bukan untuk mengklasifikasi, sehingga terjadi kesenggangan sosial, toh setiap manusia berbeda-beda. Tidak semua mahasiswa, tidak semua pula para pemuda yang tak pernah mengenyam pendidikan.
Baik.. Disini saya mulai berpikir, ternyata pengatahuan dan kematangan dalam berpikir itu bukan dari atas apa yang dibaca atau diketahui lewat pendidikan formal saja.
Jika ingin lebih mendalami tentang makna proses kehidupan, justru membaca alam lebih membuat saya semakin mengerti.
Nah disinilah perbedaannya. Seorang petani biasa menyikapi hidup dengan membaca apa yang ada disekitarnya, setiap persoalan menjadi bahan dasar perbincangan, kemudian menyentuh pada kehidupan nyata.
Seorang petani berada dilingkungan sebenarnya, betapa hidup memang seperti inilah adanya.
Beda halnya dengan mahasiswa tadi, profesi sebagai mahasiswa, berarti sebagian waktu disisihkan untuk mendalami pelajaran.
Hanya beberapa waktu saja yang ia habiskan pada kehidupan nyata, itupun jika sempat.
Separuh waktu terkuras habis oleh konsep-konsep tertulis. Aplikasinya sedikit. Maka dari itu menyikapi kehidupannya melamban. Sedangkan waktu yang dihabiskan semuanya sama.
Maka jauh lebih penting adalah belajarlah dari alam.
Di suatu hari lain, aku berbincang dengan seseorang yang berpropesi sebagai petani, usianya masih muda, tak jauh dengan usiaku.
Temanya sama aku ingin tahu bagaimana ia menyikapi hidup. Dan untuk meyakinkan kredibilitasnya, aku bertanya tentang pendidikannya, ia katakan bahwa ia hanya lulus SD saja.
Dengan obrolan biasa, ia jawab seadanya, ketawa, becanda, dan hampir setengah jam di depan rumah tempat ia istirahat.
Herannya, justru banyak pelajaran dan kata-kata bijak yang spontan ia keluarkan tanpa disadari.
Dan mahasiswa tadi, Pada awalnya aku kagum, sebab aku tidak mengerti banyak tentang bahasa ilmiah, tapi lama kelamaan, justru seolah hanya mendengar kata-kata yang ia baca, atau yang ia ketahui dari buku tapi tak ada makna yang begitu menyentuh sama sekali. Dan semakin lama, semakin jemu, membosankan.
Eith.. Contoh diatas bukan untuk membanding-bandingkan dari sudut sosial kawan!.
Tapi adakalanya perlu kita pertimbangkan jika memang itu layak dipertimbangkan. Karena pada akhirnya, sebuah jawaban sebagai solusilah yang kita inginkan dari pertimbangan-pertimbangan itu.
Bukan untuk mengklasifikasi, sehingga terjadi kesenggangan sosial, toh setiap manusia berbeda-beda. Tidak semua mahasiswa, tidak semua pula para pemuda yang tak pernah mengenyam pendidikan.
Baik.. Disini saya mulai berpikir, ternyata pengatahuan dan kematangan dalam berpikir itu bukan dari atas apa yang dibaca atau diketahui lewat pendidikan formal saja.
Jika ingin lebih mendalami tentang makna proses kehidupan, justru membaca alam lebih membuat saya semakin mengerti.
Nah disinilah perbedaannya. Seorang petani biasa menyikapi hidup dengan membaca apa yang ada disekitarnya, setiap persoalan menjadi bahan dasar perbincangan, kemudian menyentuh pada kehidupan nyata.
Seorang petani berada dilingkungan sebenarnya, betapa hidup memang seperti inilah adanya.
Beda halnya dengan mahasiswa tadi, profesi sebagai mahasiswa, berarti sebagian waktu disisihkan untuk mendalami pelajaran.
Hanya beberapa waktu saja yang ia habiskan pada kehidupan nyata, itupun jika sempat.
Separuh waktu terkuras habis oleh konsep-konsep tertulis. Aplikasinya sedikit. Maka dari itu menyikapi kehidupannya melamban. Sedangkan waktu yang dihabiskan semuanya sama.
Setiap makhluk mengalami pertumbuhan, ada masa-masanya. Cuma perbedaannya, manusia lebih beruntung telah dibekali akal. Akal ini yang menuntut untuk terus merenung. Semakin dini bepikir, semakin matang pula cara berpikirnya.
Maka jauh lebih penting adalah belajarlah dari alam.
0 Comments